Ini cerita tentang polisi di negeriku. Mungkin lebih banyak buruknya. Ah ini hanya cerita, anggap saja ini cerita gila. Rakyat jelata di negeriku selalu merasa was-was, semacam perasaan benci dan takut kalau ketemu polisi, apalagi ketika mengandarai sepeda motor dan mobil.
“Polisi itu kalau ketemu di jalan suka cari-cari masalah, ada saja kesalahan kita yang didapatinya. Ujung-ujungnya kita akan ditilang, untung kalau ditilang, uangnya akan masuk kas Negara. Banyak oknum polisi yang memilih bayar ditempat (titip uang tilang), nah kalau beginikan uangnya masuh kantong sendiri.” Demikian komentar seorang kawanku, yang demi keamanannya tidak aku sebutkan namanya di sini.
Aku juga seringkali mengalami perasaan was-was jika ketemu polisi. Apalagi ketika aku lupa membawa STNK maupun SIM. Seringkali aku berpikir ulang tentang citra polisi di mata rakyat Indonesia. Citra yang kebanyakan beraroma bangkai.
Beginilah beberapa komentar yang sering saya dapati dari mulut masyarakat Indonesia mengenai polisi :
“Polisi iku njengkelno, turu ae njengkelno opo meneh nak tangi cak” (Polisi itu menjengkelkan, tidurnya aja jengkelin apalagi kalau bangun).
Polisi itu preman berseragam.
Dan masih banyak lagi yang jika saya tuliskan satu-persatu akan membutuhkan satu bab tersendiri lagi. Komentar-komentar miring seperti ini tidak timbul bagitu saja, hal yang perlu kita telusuri lebih jauh dengan kacamata sejarah dan sosiologi.
Secara History kehadiran polisi di Indoneia dimulai ketika jaman colonial Hindia Belanda. Kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Maka untuk mengendalikan lembaga kopilisian untuk mengabdi pada kepentingannya waktu itu, diterapkanlah pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Posisi yang sangat rendah di dalam kelembagaan polisi.
Memang bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar hatinya, diperlakukan seperti ini masih saja sabar. Bangsa kita tetap sabar sampai 350 tahun berlangsungnya penjajahan kompeni Belanda. Nenek moyang kita memang bangsa yang besar, mereka mau berlapang dada dijadikan babu, kuli bahkan budak penjajah kolonial Belanda. Demikian juga dalam hal kepolisian, bangsa kita rela hanya mendapat jabatan paling rendah dalam kopilisian jaman penjajahan. Malah mereka berbangga hati jika putranya menjadi polisi rendahan. Yang diperintah-perintah penjajah untuk menindas bahasa halusnya mengamankan bangsa sendiri demi kepentingan bangsa penjajah.
Seiring berjalannya waktu, sampai Orde Rekormasi ini, kebesaran nenek moyang kita itu ternyati masih kita warisi. Masyarakat kita selalu saja berbesar hati (sombong, suka pamer) ketika anaknya menjadi aparat kopolisian yang keparat itu. Sebagian besar masyarakat kita lebih senang anaknya masuk sekolah kopolisian daripada masuk perguruan tinggi umum. Maka itu jangan heran kalau Einstein-Einstein baru tak bisa lahir di Indonesia, lha bagaimana bisa lahir kalau kebanyakan masyarakat masyarakat kita berlomba-lomba menjadikan anaknya sebagai polisi ?. Ya begitulah bangsa kita. Mental Inlander, mental kuli.
Menurut lembaga Transparency International Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia adalah lembaga yang paling korup di Indonesia dengan index 4,2. Hal ini berhubungan dengan tugasnya yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, sehingga menimbulkan celah untuk memanfaatkan hubungan itu untuk kepentingan pribadi. Ya begitulah kondisi polisi di negeriku.
Aku selalu protes ketika naik sepeda motor di jalanan kampung yang banyak terdapat polisi tidurnya. Kejengkelan saya akan semakin menjadi-jadi jika jarak polisi tidur itu berdekatan. Kejengkelan saya itu beralasan karena dalam berkendara di jalanan kampung selalu dengan kecepatan rendah. Kenapa warga kampung harus membuat begitu banyak rintangan polisi tidur di jalan?, padahal tanpa ada polisi tidur saya tak akan mengebut di jalanan kampung. Saya yakin ini kemungkinan disebabkan trauma warga kampung terhadap setiap pengendara kendaraan bermotor yang lewat di kampung mereka. Mereka selalu takut setiap kali ada pengendara yang lewat depan rumah, karena kebanyakan pengendara di Indonesia itu selalu ngebut dan ugal-ugalan. Yang tidak ngebut dan tidak ugal-ugalan dianggap pengendara gila. Warga kampung pada takut dan cemas, takut apabila anak mereka yang main di pinggir jalan atau warga kampung yang menyeberang jalan tertabrak oleh pengendara yang lewat. Maka jangan heran jika jalan-jalan di kampung selalu ada polisi tidurnya setiap 10 meternya.
Ah saya memang pengendara gila, bagaimana tidak gila, setiap ketemu pengendara yang kebut-kebutan selalu saya kata-katai : arep nan ndi cak? Kesusu ae, kok gak budal kawit wingi? (mau ke mana mas? Kok buru-buru, kenapa gak berangkat dari kemarin?).
Polisi, tidur saja menjengkelkan apalagi bangun.
0 komentar:
Posting Komentar