(Catatan Diklat Jurnalistik Investigasi PPMI Kota Surabaya)
Jika metode investigasi dalam jurnalistik merupakan cahaya obor yang membuat bangkai hewan terlihat di malam hari yang gelap. Dan jika praduga awal investigasi adalah penciuman kita tentang bangkai tikus tadi. Maka kita harus mencari obor, menyalakannya dengan korek api kemudian berjalan dengan pencahayaannya. Mencari di mana bangkai itu berada, memastikan bangkai hewan apakah itu, dan jika perlu mengotopsinya. Meneliti sebab musabab kematian hewan tersebut, sampai segalanya menjadi terang.
Dan begitulah metode investigasi seringkali dipakai oleh media-media mingguan seperti Majalah Tempo, Gatra, dll, untuk mengungkap kejahatan kerah putih yang tak mudah diungkapkan oleh media-media harian.
Jurnalistik investigasi, mengungkap kebenaran dibalik fakta dan peristiwa. Sesuatu yang abu-abu, kejahatan besar yang sengaja ditutup-tutupi. Tiba-tiba menjadi hal yang mewah di kalangan pers Mahasiswa. Mewah karena memang tingkat kesulitannya tak dapat diatasi oleh pers Mahasiswa hari ini yang tingkat konsistensi dan militansinya semakin menurun. Tugas kuliah yang menumpuk, waktu studi yang semakin “diperpendek,” seolah menjadi “pembenar” menurunnya kualitas pers Mahasiswa hari ini.
Hal ini diperparah lagi dengan kapitalisasi media massa umum yang membuat pers Mahasiswa hari ini harus kembali ke “barak.” Menjadi milik komunitas, kampus. Bahkan lebih kecil lagi, fakultas. Wilayah liputan mereka sekarang terbatas, walau jika memakasakan diri untuk mengcover area yang lebih luas bisa saja terjadi. Pun demikian, saya juga memakluminya, Mahasiswa, selalu bisa dimaklumi, dengan segala sikap kepahlawanannya, dengan segala ketidakkonsistenannya. Selalu ada pemakluman, karena semua yang dilakukannya adalah bagian dari pendidikan yang tidak selalu berjalan mulus, ada trial and error.
Selama beberapa minggu kemarin saya sibuk membantu kawan-kawan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Surabaya yang menggelar kegiatan pelatihan jurnalistik investigasi. Karena pengalaman saya yang pernah menjadi panitia dalam diklat jurnalistik di Kota Malang, maka sayapun dimintai tolong oleh kawan-kawan Surabaya menjadi Sterring Comite dalam kepanitiaan kali ini.
Pelatihan jurnalistik investigasi ini berawal dari permintaan kawan-kawan pers Mahasiswa Kota Surabaya yang merasa membutuhkan metode investigasi untuk memperkuat karakter majalah mereka, yang terbitnya sekitar setahun dua kali. Bahkan ada yang terbitnya temporer, tempo-tempo terbit, tempo-tempo tidak terbit.
Sejak perencanaan awal acara ini, saya merasa ada yang aneh, karena sebagian panitia pelaksana tidak antusias, bahkan terkesan ogah-ogahan. Hanya satu dua orang yang terus konsisten mengikuti rapat. Hanya pengusul acara ini dan ketua pelaksana yang hampir pasti mengikuti rapat. Kebetulan saya kerap mengikuti rapat panitia ini. Banyak nama yang tercantum dalam kepanitiaan itu sering tidak ikut rapat. Baru ketika acara kurang seminggu peserta yang lain muncul batang hidungnya. Menurut saya hal ini terjadi karena panitia yang lain merasa tidak memiliki acara ini. Sebab usulan penyelenggaraan acara ini hanya berasal dari satu orang, panitia yang lain merasa tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan sejak awal acara ini dibuat. Yang terjadi adalah jumlah panitia sangat minim yakni berjumlah tujuh orang. Padahal jumlah peserta yang ditargetkan adalah 70 peserta.
Dengan jumlah panitia yang sedikit itu, terpaksa pembagian tugas dilapangan jadi tumpang tindih. Saya sebagai SC harus merangkap menjadi OC juga. Mulai dari membuat konsep, bahkan sampai mengurus perijinan di lapanganpun saya kerjakan.
Pelatihan kali ini memakan waktu empat hari. Sungguh waktu yang terlalu singkat untuk sebuah pelatihan jurnalistik investigasi. Dua hari adalah penyampaian materi dan dua hari berikutnya adalah praktek liputan investigasi di lokalisasi Dolly dan Jarak Surabaya.
Target yang ingin dicapai dari pelatihan jurnlistik investigasi kali ini sungguh tidak muluk-muluk. Sebab saya dan beberapa kawan yang menyusun konsep acara inipun yakin hasil yang dicapai peserta dilapangan tidak akan maksimal. Jangankan untuk membuat laporan investigasi yang menguak tuntas kejahatan kapitalisme seksual di lokalisasi Dolly dan Jarak.
Untuk menembus narasumber di lokalisasi inipun sudah sedemikian sulit bagi mereka yang berkepribadian kaku, tidak mudah bergaul. Menurut warga kampung Dolly yang saya temui, PSK dan pemilik wisma terkenal antipati terhadap wartawan. Semacam ada ketakutan diantara mereka bahwa wartawan akan memlintir isi berita, sehingga cepat atau lambat wisma mereka akan ditutup oleh pihak berwenang. Apalagi setelah adanya isu bahwa Pemerintah Kota Surabaya akan menutup lokalisasi Dolly dan Jarak. Hal ini tentu akan semakin menyulitkan peserta diklat investigasi untuk menembus narasumber.
Sebenarnya target prioritas acara ini adalah mengembangkan insting investigasi peserta dan melatih peserta mewawancarai narasumber yang sulit ditembus seperti di lokalisasi ini. Dengan keterbatasan waktu maka untuk penyajian laporan investigasi tidak menjadi target prioritas meskipun dalam diklat ini peserta diwajibkan untuk menulis laporan investiasi dan mempresentasikannya.
Jelas jika kita nilai dari awal sampai akhir, pelatihan jurnalistik investigasi yang dilaksanakan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Surabaya ini banyak sekali kendala dan kekurangannya. Kendala yang membuat acara ini kurang maksimal adalah pembicara yang tidak menyertakan paper materi. Ditunjang dengan peserta yang kebanyakan hanya mendengar tanpa mencatat materi yang disampaikan. Selain itu, yang paling fatal adalah salah satu pembicara yang menyampaikan materi Logika Berpikir Kritis tidak dapat hadir.
Ada empat materi yang telah disusun panitia secara berurutan dalam diklat investigasi kali ini yakni Logika berpikir kritis, Analisa Sosial, Teknik Investigasi, dan Materi Obyektif mengenai lokalisasi Dolly dan Jarak. Materi Logika Berpikir Kritis dan Analisa Sosial adalah modal dasar yang diberikan kepada peserta untuk dijadikan pisau analisa yang dapat digunakan untuk mengupas tuntas permasalahan social di lapangan. Namun sayang sekali materi Logika Berpikir Kritis tidak jadi disampaikan dalam diklat kali ini. Sedang materi Analisa Sosial yang disampaikan oleh Nurani Soyo Mukti sebagian besar cenderung mengulas tentang filsafat sosial secara teoritik. Jelas sudah tujuan penitia untuk membekali peserta dengan pisau analisis di lapangan berupa Logika Berpikir Kritis dan Analisa Sosial gagal sudah.
Dengan pisau analisa yang minim itu, peserta diklat investigasi diterjunkan untuk praktik lapangan. Praktik investigasi lapangan ini dilakukan peserta selama dua hari dua malam di lokalisasi Dolly dan Jarak. 70 peserta ini dibagi dalam enam kelompok. Enam kelompok ini menentukan sendiri angle berita dan merumuskan hipotesis awal sendiri. Hipotesis ini digunakan untuk menjawab pertanyaan angle dan merumuskan dugaan berdasarkan kaitan logis dan potongan fakta yang sudah diperoleh.
Dalam sesi terakhir diklat investigasi ini peserta diberi kesempatan memaparkan laporan hasil investigasi kelompoknya dan saling menilai laporan investigasi kelompok lainnya. Idealnya memang ada seorang yang berpengalaman dalam liputan investigasi di sini yang dapat menilai laporan investigasi peserta. Namun sayang panitia tak dapat memfasilitasi hal ini.
Secara umum saya menilai hasil laporan investigasi peserta ini masih banyak yang belum bisa digolongkan sebagai laporan investigasi. Laporan investigasi yang dihasilkan peserta dalam diklat kali ini banyak yang belum sempurna disebabkan sebagian besar laporan investigasi mereka tidak melakukan perumusan hipotesis sesuai dengan angle berita. Selain itu karena waktu yang terbatas peserta belum mampu melakukan proses verifikasi yang matang (tak ada tanda tanya, tak ada lagi kata “konon” atau “kabarnya”).
0 komentar:
Posting Komentar