Ini lagi cerita gilaku tentang negaraku. Bukan bermaksud memotret sisi buruknya saja. Tapi kenyataannya memang demikian. Negaraku, Indonesia oleh tetangga-tetangganya dijuluki sebagai “negeri maling”. Bagaimana sampai negaraku dijuluki demikian? Negaraku dijuluki demikian bukan karena sentimen antar negara, tapi memang kenyataannya demikian. “Negeri maling” ini merujuk pada perampokan kekayaan negara oleh pengelolanya, birokrasi, pejabat, militer dan politisinya.
Sebagai warga negara yang cinta pada bangsa dan negaranya, aku terkadang malu dan minder berteman dengan warga negara lain. Mungkin Anda bertanya pada sikap saya yang cinta pada tanah airnya namun masih saja membongkar aib dan kebusukan bangsanya sendiri. Sudahlah Anda jangan bertanya tentang metodologi berpikirku. Apalagi bertanya tentang filosofiku apa dan bagaimana sehingga bersikap demikian. Jawabanku sederhana saja. Aku bukanlah Kumbakarna, tokoh pewayangan yang berprinsip right or wrong is my country, saya berprinsip seperti Wibisono, right or wrong is rigt or wrong. Sederhana kan ?. Saya tak bisa menjawab secara filosofis dan metodologis tentang ini. Jadi jangan tanya lagi.
Anda menuduhku bukan seorang yang nasionalis ? silahkan saja. Toh aku juga bukan politikus yang harus mencitrakan dirinya baik di depan semua orang. Anda berhak menjelek-jelekkanku sesuka hati, toh aku juga akan cuek-cuek saja. Karena ejekan Anda tak ada pengaruhnya sama sekali dengan hidupku.
Nah begini ceritanya, pemerintah di negaraku punya satu ideologi khusus. Ideologinya korupsi. Pemerintah di sini maksud saya bukan hanya lembaga eksekutif tetapi juga legislatif dan yudikatifnya. Kalau tidak bisa korupsi belum dikatakan “sukses” jadi pemerintah. Maka itu pemerintah di negaraku kalau ada kesempatan untuk korupsi mereka akan berlomba-lomba untuk melakukannya.
Di negaraku, lembaga yang punya banyak kesempatan untuk korupsi adalah birokrasi. Terutama mereka-meraka yang mempunyai jabatan. Minimal menjadi kepala seksi dalam sebuah dinas. Kondisi ini diperparah dengan kondisi politik di negaraku yang sangat transaksional. Hampir semua partai politik di negaraku menganut ideologi korupsi. Pancasila yang secara formal menjadi dijadikan ideologi negara, tidak lagi dipakai oleh partai-partai politik di negaraku ini. Sungguh ironis.
Kepala negara dan kepala daerah yang berasal dari partai politik ini juga “terpaksa” korupsi untuk mengembalikan modal politik yang digunakannya dalam pemilu. Anda harus tahu, untuk menjadi kepala negara dan kepala daerah di negaraku sekarang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Jika Anda mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah di suatu kota/ kabupaten anda membutuhkan minimal 15 milyar Rupiah. Uang itu Anda harus gunakan terutama untuk membeli suara masyarakat. Kalo Anda tidak memberikan uang pada masyarakat, jangan harap Anda akan dipilih oleh mereka. Mereka (kepala negara dan kepala daerah) yang telah terpilih akan menekan birokrasinya untuk menjadi mesin uangnya.
Jika Anda mencari siapa penyebab utama kenapa negaraku ini memeluk ideologi korupsi, maka Anda tak akan menemukannya. Karena di negaraku ini semuanya mengamini ideologi korupsi, mulai dari birokrasi, politisi, sampai masyarakatnya mengamini ideologi ini.
Kalau orang di negaraku Anda tanya , mereka akan berkata sebaliknya. “Tidak, kami paling anti dan mengutuk setiap perbuatan korup,” begitulah jawaban orang-orang di negaraku.
Kondisi ini sudah berulang kali dikaji oleh para ahli pikir di negaraku, baik itu intelektual, pemuka agama dan budayawan. Berbagai rekomendasi telah dihasilkan, namun rekomendasi yang ditulis di atas kertas itu hanya rekomendasi, tidak menjadi tindakan. Rekomendasi-rekomendasi itu hanya ditumpuk di kantor-kantor pemerintahan, setelah terkumpul banyak maka kertas-kertas rekomendasi itu akan diloakkan, dijual perkilo dipenadah barang bekas.
Aku jadi curiga, jangan-jangan intelektual, pemuka agama dan budayawan di negaraku ini main mata dengan birokrasi. Dan aku juga curiga pada diriku sendiri, jangan-jangan aku juga koruptor ?
0 komentar:
Posting Komentar