Pulang kampung merupakan kegembiraan bagi manusia urban. Pulang kampung atau biasa kita sebut mudik (kembali ke udik/asal) adalah ajang untuk berkumpul dengan sanak saudara. Berbagi cerita, kesuksesan, kesedihan dan keterpurukan (nah yang ini biasanya jarang diceritakan dengan berbagai alasan) pada sanak saudara dan tetangga di kampung halaman. Entah dengan pertimbangan karena malu dan tidak ingin membuat anggota keluarga di kampung turut bersedih dengan keterpurukan yang dialami dan lain sebagainya.
Namun tidak demikian dengan apa yang saya alami. Setan urban seperti saya ini kalau pulang kampung hanya merasa sumpek, pusing. Pusing karena tidak ada kerjaan, karena orang di kampung saya sudah jadi setan juga seperti saya. Saya pusing karena kerjaan saya adalah membujuk dan merayu manusia untuk bertingkah laku setan seperti saya ini. Namun ketika pulang yang kesekian kalinya ini, penduduk di kampung saya sebagian besar sudah tidak lagi menjadi manusia melainkan sudah berubah seperti saya. Menjadi setan. Kalau tidak jadi setan ya minimal sudah menjadi buto kempung, atau sejenis penjahat kumatan yang dungu. Selain itu juga ada yang sudah menjadi buto mubal. Buto mubal itu ideologinya ngeyel, salah benar membandel, maunya menang sendiri. Dia yang mencuri sepeda motor anda, tetapi ketika anda mengatahui dan meminta sepeda motor anda tidak diberikannya. Malah anda diteriaki sebagai maling, padalah jelas-jelas dialah yang mencuri sepeda motor anda. Begitulah kelakuan buto mubal.
Dan begitulah yang terjadi di kampung saya. Memang secara fisik bangunan dan jalan tak banyak berubah. Tapi tingkah laku manusianya sudah banyak berubah. Tingkah laku mereka bukan lagi manusia, tapi sejenis buto bahkan ada yang sudah menjadi setan seperti saya ini. Bedanya mereka adalah setan kampung dan saya adalah setan urban. Beda lokasi.
Seperti setan tingkah laku manusia di kampung saya itu, mereka ingin kaya tapi tidak mau bekerja keras, maunya kerja sedikit tapi hasilnya banyak. Suka jalan pintas. Maka sawah dan ladang di kampung saya banyak ditanami jagung, padi yang kerjanya cepat dan hasilnya cepat. Dengan begitu peluang mereka untuk menjadi kaya dengan cepat. Sisanya adalah tanaman tebu yang usianya relatif lama tapi hasil panennya lumayan. Jarang saya temui ada sawah, ladang dan kebun yang ditanami pohon jati, yang usianya bisa berpuluh tahun tapi hasilnya jangan ditanya, harga kayu jati di kampung saya yang terkenal sebagai kota ukir ini seperti harga emas.
Diantara sekian banyak setan yang saya temui di kampung saya adalah setan dari kalangan pemuda. Setan-setan muda ini banyak sekali menghiasi sudut-sudut warung kopi, dan juga warung miras. Mereka ini hebat, punya cita-cita tinggi dan mulia. Ingin kaya, ingin hidup mulia. Sayangnya mereka ini suka jalan pintas dan ketika jalan yang dilewati untuk sampai pada cita-citanya ini berlubang dan berkelok-kelok mereka akan mudah sekali untuk putus asa. Berhenti di tengah jalan. Bahkan ada yang lebih parah lagi, ada seorang pemuda yang rumahnya tidak jauh dari rumah saya hanya bisa berkhayal untuk mencapai cita-citanya. Hidup di alam mimpi. Kesehariannya hanya nongkrong dan nongkrong, dari satu warung kopi ke yang lain, dari satu warung miras ke warung miras yang lain. Sekolahpun malas, hanya sampai sekolah menengah pertama, padahal secara financial orang tuanya mampu menyekolahkan hingga perguruan tinggi. Setan muda ini pun malas bekerja. Tiap hari hanya mengemis uang pada orang tuanya. Puji Tuhan, ternyata tidak hanya saya yang telah menjadi setan, ada banyak setan di kampung saya.
Karena itu kampung saya ini kebanyakan yang menjadi “manusia” hanya mereka yang sudah tua. Sulit untuk bertemu “pemuda manusia” di kampung saya. Adapun kalau siang hari begini mereka bersekolah dan bekerja. Dan malam harinya mereka hanya berada dalam rumah, istirahat setelah seharian beraktivitas. Jadi selama di kampung saya hanya jadi setan pengangguran, yang sulit menunaikan tugas dan kerjanya merayu dan membujuk manusia melakukan perbuatan dosa. Yang menjauhkan mereka dengan Tuhannya. Yang menjauhkan kepedulian mereka dengan kondisi bangsa dan negaranya. Aktifitas saya di kampung hanya berkumpul dengan sesama “setan.” Di warung-warung kopi dan warung-warung miras.
Pada malam-malam kepulangan di kampung tercinta, saya sempatkan untuk menikmati secangkir dua canngkir kopi di warung kopi milik tetangga yang tak jauh dari rumah. Mencari “manusia-manusia” kampung untuk saya pengaruhi pemikirannya sehingga berubah pula tingkah lakunya, menjadi seperti saya, setan. Itu memang tugas utama setan. Setan seperti saya ini jika harus sendirian berada di rumah adalah sesuatu hal yang membosankan, rasa-rasanya ingin mati saja jika harus hidup sendirian sepanjang hari.
Alhasil bertemulah saya dengan anak manusia, namun perawakannya tidak lagi menjadi manusia, dia sudah menjadi buto, sejenis buto mubal. Mulailah kami berdua bercerita dan bertukar pikiran di malam itu. Buto mubal mencoba memberikan ceramahnya pada setan seperti saya ini. Menurutnya, setan berpendidikan tinggi seperti saya ini idealnya pekerjaannya di sektor pemerintahan, ya jadi PNS, jadi pejabat. Dengan begitu tak sia-sialah pendidikan tinggi yang telah saya tempuh susah-susah selama ini.
“Jadi PNS itu pekerjaan santai, ringan, tidak berat jika dibandingkan dengan seorang wirausahawan, apalagi jika wirausahawan itu bermula dari nol. Selain itu dengan menjadi PNS kamu akan lebih dipandang oleh masyarakat, punya kedudukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan seorang wirausahawan, meskipun dia kaya. Nah mungkin kamu tak mau jadi PNS karena orang yang jadi PNS itu susah menjadi kaya kalau tidak korupsi. Ini pikiran yang keliru. Dengan kamu jadi PNS yang kerjanya santai, kamu akan punya banyak waktu luang untuk melakukan kerja sampingan, ya jadi wirausaha juga.”
Saya hanya bisa diam dan mengangguk-anggukkan kepala saja. Saya biarkan dia merasa menang saja dalam perdebatan malam itu. Setan seperti saya ini telah maklum dengan kelakuan si buto mubal. Percuma berdebat dengan buto mubal karena ideologinya ngeyel. Salah benar harus menang.
Mendengar perkataan kawan saya itu, tiba-tiba saya ingat dengan budayawan kita, Cak Nun. Saya pernah membaca salah satu essaynya dengan judul “Rahasiakan Kenabianmu,” Cak Nun mencoba mengkritik perilaku sebagian manusia Indonesia yang berprofesi sebagai penyiar agama. Cak Nun memprotes secara lirih dan samar praktek penyiar agama yang melangit. Dia mengumpakan jika kiai, ustadz atau apapun yang menemukan lubuk makna sangat mendalam secara sangat pribadi dari Manunggaling Kawulo lam Gusti, menyatunya hamba dengan Tuhan, maka rahasiakanlah. Jangan ceritakan pada rakyat, karena mereka sudah pusing kepalanya untuk sekedar cari makan dan bayar sekolah anaknya. Maka Cak Nun-pun berseru pada pemuka dan penyiar agama untuk tidak menambah beban pikiran rakyat dengan mengajak berpikir tentang nabi, Tuhan, Al ini Al itu.
Dengan lirih pula Cak Nun menganjurkan pada kita yang berpengetahuan lebih tentang Manunggaling Kawulo lan Gusti untuk menafsirkannya secara sosial saja. Manunggaling Kawulo lan Gusti adalah menyatunya Tuhan dengan rakyat di dalam kalbu dan akal sehat para pemimpin. Lurah, camat, bupati, gubernur, menteri, wakil rakyat, presiden, tidak akan pernah memisahkan “pernikahan” antara kepentingan rakyatnya dan kasih saying Tuhan. Mereka tak akan melakukan tindakan yang menyakiti rakyat karena Tuhan pasti marah. Mereka juga tidak akan menyakiti Tuhan karena lambat atau cepat akan menghasilkan pergolakan rakyat.
Maka jika memang engkau seorang nabi atau wali, maka tolonglah saja dunia ini, selamatkan manusia, terutama manusia Indonesia yang sudah mencapai puncak kebingungan, keputusasaan, kebebalan, kekosongan. Mereka juga tidak akan menganggap penting apakah kita nabi, wali atau bukan. Demikian uraian Cak Nun yang sedikit saya ingat.
Setan gila seperti saya ini meski telah mengantongi ijazah sarjana dari neraka sungguh tak berani malamar pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil. Sungguh karena saya adalah setan gila yang hina. Hati dan pikiran kotor saya tak sanggup menjadi pelayan masyarakat. Dalam pikiran saya adalah bagaimana caranya agar memperbudak manusia, agar mereka mau melakukan perintah saya, bukan perintah Tuhannya. Maka anjuran kawan masa kecil saya ini hanya saya tertawakan saja. Dan saya juga patut berbangga hati karena bujuk rayuan saya pada manusia PNS bisa dikatakan berhasil. Mereka sekarang tak lagi menjadi pelayan masyarakat, pamong praja tetapi menjadi juragan masyarakat, pangreh praja. Yang bekerja untuk mendapat pamrih dan kemuliaan dari masyarakat. Hahahaha……
0 komentar:
Posting Komentar