Kamis, 16 Juni 2011

Penjara Itu Bernama Universitas/ Sekolah Tinggi/ Institut

Penjara, sebuah tempat yang terkadang tidak kita sadari betul keberadaanya, hingga kita terlibat secara langsung di dalamnya. Begitulah tulis Arswendo Atmowiloto dalam buku karyanya berjudul “Kisah Para Ratib.”

Penjara itu terbagi menjadi beberapa blok, setiap blok terdiri dari beberapa kamar. Setiap kamar berisi sekitar empat sampai lima orang. Fungsi blok adalah menggolongkan kasus yang diderita narapidana, mereka yang masuk penjara karena kasus pembunuhan akan ditempatkan satu blog dengan pembunuh yang lain, mereka yang sesama perampok akan ditempatkan dalam satu blok perampok. Mungkin ini sama seperti penggolongan fakultas, jurusan dan kelas dalam universitas. Ada fakultas teknik, ekonomi, pertanian, kedokteran, ada jurusan teknik mesin, teknik industri pertanian,, kodektera hewan, kelas A, B, C dll.


Universitas akan menjadi penjara akademik bagi narapidananya yakni Mahasiswa jika universitas sudah menjadi tembok congkak yang memisahkan mahasiswa dari dunia luar, dari masyarakatnya untuk kemudian menjadi sekumpulan mahasiswa fakultatif. Dan inilah yang terjadi hari ini, jaman ketika kapitalisme dan keserakahan ekonomi menjadi ideologi Negara ini. Coba kita lihat di universitas tua dan memiliki sejarah panjang di negeri ini. Hanya narapidana dan sipir saja yang boleh masuk ke dalamnya. Jangankan masyarakat umum yang tidak berkepentingan bisa masuk, yang punya kepentingan untuk memebuhi kebutuhan ekonomi seperti pengemis, tukang becak dan pedagang kaki lima saja tidak boleh masuk. Mereka di gusur atas nama “ketertiban dan stabilitas.” Yang boleh berjualan di kampus hanya istri, kerabat, sanak famili dari sipir (birokrasi kampus). Begitulah yang terjadi ketika universitas sudah menjadi pabrik pendidikan. Keserakahan menjadi virus bagi penghuninya. Semua bersaing memperkaya diri. Tak peduli dengan narapidanya apalagi dengan masyarakat sekitar penjara (kampus).

Seperti apa yang ditulis Arswendo dibagian akhir bukunya. Ketika Karmo, tokoh utama dalam kisah itu yang mengalami kebimbangan dan ragu apakah memutuskan untuk tetap menjalani hukuman seumur hidup di penjara ataukah lari dari penjara. Menghabiskan waktunya di luar penjara sesuai dengan anjuran karibnya sesama narapidana dan juga pakdenya sendiri yang rela masuk penjara hanya karena ingin meyakinkan Karmo untuk melarikan diri dari penjara.

“Mo, ada yang salah dengan kamu berdiam di tempat ini. Yang salah dan rusak adalah otakmu, karena kamu menganggap berada di tempat ini adalah baik. Kamu memang berjaya di sini, kamu memang diakui di sini sebagai brengos asli yang sakti. Kamu hidup dengan baik, berkecukupan dan tak ada beban seperti di luar. Tapi itu salah.”

“Kamu dengar baik-baik. Yang Pakde katakan ini tak ada kaitannya dengan apakah kamu memang perlu menjalani hukuman seumur hidupmu, apakah keadilan ada artinya dan lain sebagainya. Melainkan bahwa kamu memang sebaiknya berada di dunia bebas, dan kamu mungkin sekali melakukan itu.”

Demikian nasehat Pakde Setro pada Karmo. Namun Karmo bimbang dan ragu. Dia mungkin bisa melompati tembok penjara, berada di dunia luar. Namun jika tertangkap tak ada hukuman lain bagi seorang narapidana selain dor (tembak ditempat).

Saya mungkin orang yang beruntung sebagai narapidana universitas. Saya dapat melarikan diri, melompati tembok tua yang angkuh itu. yang membelenggu. Mustahil kalau saya tak melarikan diri darinya sebab saya adalah terpidana seumur hidup. Meskipun kemudian saya mengalami kebingungan ketika berada di luar penjara. Tapi saya bersyukur pada Tuhan, sudah melarikan diri dari penjara itu, yang bernama universitas.

Beberapa kawan kuliah saya yang menjalani hukuman mati (Mahasiswa yang di DO) dan juga mereka yang terkena hukuman seumur hidup (tujuh tahun kuliah) sampai sekarang masih menjalani massa hukumannya.

Univeritas itu semacam penjaran, Mahasiswa adalah narapidananya, satpam adalah petugas jaga, dosen, dekan, rektor dan birokrasi kampus adalah sipirnya. Hal terburuk dari sistem kepenjaraan apapun adalah jika karmu menjadi penghuninya. Bagi penghuni penjara tak ada keinginan lain selain cepat-cepat keluar, bagaimanapun caranya. Apakah saya salah menyebut universitas adalah sejenis penjara?. Semua itu saya serahkan pada anda untuk menilai sendiri.

2 komentar:

indrimartyas mengatakan...

"Saya mungkin orang yang beruntung sebagai narapidana universitas. Saya dapat melarikan diri, melompati tembok tua yang angkuh itu. yang membelenggu"

Ini berarti sudah lulus ap malah melarikan diri dari kampus sebagai seorang mahasiswa mas??? hha

Anonim mengatakan...

kalo begitu saya belajar ketrampilan saja di penjara (baca:universitas) dan kemampuan2 lain yang bisa saya gunakan supaya selepas dari penjara(universitas) saya bisa mengabdi ke masyarakat. Menjalani hari2 di penjara dan sekali2 ijin ke para sipir untuk beraktivitas di luar, biar tidak seperti katak dalam penjara. Sampai akhirnya masa hukuman (hukuman ringan saja, jgn berat2, hehee) saya habis dan mengabdi ke masyarakat.

Posting Komentar

Mau ?

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India