Rabu, 15 Juni 2011

Penjajahan Gaya Baru Ala “Neoliberalisme”


Ekonomi = Serakah ?

Secara de facto dan de jure bangsa Indonesia memang telah merdeka terhitung sejak tahun 1945. Namun apakah memang demikian adanya? Apakah kita sudah merdeka 100%? Benarkah bangsa kita telah dengan sebenar-benarnya menjadi bangsa yang “pasca-kolonial?”

Coba kalian renungkan sejenak, tentu masing-masing dari kalian mempunyai jawaban tersendiri dari berondongan pertanyaan di atas.

Baiklah, hari ini kita akan sedikit berbicara tentang penjajahan gaya baru ala “neoliberalisme.” Bagi kalian yang studinya di bidang ekonomi dan ilmu social sedikit banyak tentu tahu apa itu neoliberalisme. Ya, benar, neoliberalisme adalah liberalisme gaya baru.



Tentu kalian masih ingat mata pelajaran ekonomi yang diajarkan di SMA, yang mendoktrin kita bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang mengajarkan kita untuk memenuhi segala kebutuhan hidup kita terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang material. Kalian juga tentu ingat dengan slogan dalam ilmu ekonomi, yang mengatakan bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia itu tidak terbatas, maka itu ilmu ekonomi sangat penting perannya dalam kehidupan sehari-hari. Terus terang saja, ketika banyak mengaji tentang persoalan ekonomi baik secara teoritis maupun melalui pengamatan langsung dalam kehidupan sehari-hari, penulis tidak sepakat dengan slogan bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas. Yang lebih tepat menurut saya adalah “kebutuhan manusia itu terbatas, namun keinginan manusia yang tidak terbatas.” Semisal ketika kalian merasa lapar, perut kalian keroncongan karena lambung kalian membutuhkan makanan untuk digiling, jika tidak lambung kalian akan terus-menerus mengeluarkan asam yang membuat perut kalian terasa sakit.

Lalu apa yang kalian lakukan ketika lapar? Tentu saja harus makan. Nah jadi kebutuhan kalian ketika lapar adalah makan. Kira-kira ketika saya sodori sepiring nasi dengan lauk tahu, tempe dan sambal apakah kalian akan makan? Saya yakin kalian akan memakannya ketika tidak ada pilihan yang lain. Namun ketika kalian disuruh memilih antara sepiring nasi berlauk tempe-tahu dan sepiring nasi berlauk sate kambing yang mana kira-kira yang akan kalian pilih? Saya yakin kalian cenderung memilih sate terkecuali kalian mengidap penyakit darah tinggi yang dianjurkan oleh dokter untuk tidak memakan sate. Itulah yang saya katakana keinginan. Apakah kalian sudah dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginanan?


Sampai di sini, ternyata ilmu ekonomi yang kita pelajari mulai dari SMP-SMA ternyata hanya mengajarkan kita menjadi “manusia serakah,” karena ada doktrin dalam ilmu ekonomi kita yang diimpor dari “Barat” itu yang mengatakan bahwa “ilmu ekonomi mengajarkan kita bagaimana caranya dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan untung sebanyak-banyaknya.” Apakah ada yang tidak sepakat dengan pendapat saya? Hayo ngaku! Saya yakin ada yang tidak sepakat dengan pendapat saya.

Jika memang ilmu ekonomi dapat membantu kita menggunakan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya lalu mengapa pedagang kaki lima yang sudah berdagang di depan kampus kalian selama berpuluh-puluh tahun masih seperti itu juga nasibnya ? dia belum mampu membeli mobil untuk keluarganya, coba tanyakan padanya, apakah dia mampu menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan tinggi seperti kalian?

Sampai di sini saya masih berpendapat bahwa ilmu ekonomi yang diajarkan dalam sistem pendidikan kita hanya mengajarkan kita menjadi orang yang “serakah”. Serakah karena tidak lagi menjunjung nilai-nilai dalam masyarakat kita, demi keuntungan maksimal yang ingin kita capai. Nilai-nilai seperti nilai kekeluargaan, gotong-royong, tepo-sliro, dll. Coba perhatikan di sekitar kalian bagaimana ilmu ekonomi telah membuat seseorang yang ingin mendapatkan keuntungan maksimal tak memperdulikan nasib sanak keluarganya yang masih miskin. Mungkin hal ini tidak terjadi pada semua masyarakat kita, kasuistis memang. Tapi hal itu sebagian besar telah melanda masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Dan ternyata lagi ilmu ekonomi dan doktrin-doktrin menyesatkannya oleh banyak ekonom di Indonesia diimani dan diamini. MasyaAllah….beri petunjuk pada mereka yang sesat jalan itu…. ;-)


Menelusuri Jejak Langkah Neoliberalisme

Dalam pembukaan tulisannya yang berjudul “Kritik Terhadap Pelaksanaan Millennium Development Goals (MDGs) 2015 di Indonesia,” Yani Sagaroa menulis : Negara-negara berkembang dijadikan sebagai imperium kawasan investasi dan industri oleh negara-negara maju, dan sekaligus menjadikannya sebagai basis pemasaran produk, barang, dan jasa mereka; dengan seluruh proses produksi dikendalikan dan dalam kontrol yang ketat dari sindikasi negara maju tersebut. Di saat semua pemerintah negara-negara kreditor menikmati/membelanjakan uang dalam jeratan hutang dan sibuk meningkatkan pamor politiknya di dalam negeri, maka negara-negara maju melakukan strategi pembiaran SDA/energi mereka. Pada saat sumber energi di negara dunia ketiga telah habis, maka pada saat itulah mereka melakukan produksi, sehingga semua negara di dunia menjadi tergantung pada mereka. Dan itulah tatanan dunia yang ada saat ini.

Sebut saja namanya Noam Chomsky, salah satu pemikir besar Amerika yang berdiri menentang gagasan neoliberalisme dalam bukunya menulis bahwa neoliberalisme terinspirasi dan banyak mengutip dari gagasan Adam Smith tentang liberalisme klasik. Neoliberalisme juga dikenal sebagai “Konsensus Washington,” yang menyarankan sesuatu mengenai tatanan global. Konsensus ini dirancang oleh Amerika Serikat bersama lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Worl Bank. Prinsip dasarnya adalah :liberalisasi perdagangan dan keuangan, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi dan privatisasi perusahaan milik Negara. Pemerintah seharusnya keluar dari arena pertarungan ekonomi, demikian juga masyarakat, masyarakat juga tidak usah mengurus masalah ekonomi karena bagi mereka masyarakat hanya konsumen belaka. Pers internasional menyebut lembaga-lembaga ini (IMF, Worl Bank, WTO, dll) sebagai “pemerintah dunia secara de facto” pada “masa penjajahan baru.”

Mengutip Robert W. McChesney dalam tulisan pengantarnya dibuku karangan Noam Chomsky “Profit Over People: Neoliberalism and Global Order.” Robert W. McChesney menjabarkan neoliberalisme adalah penjabaran paradigma (pemikiran) ekonomi pada zaman ini yang mengacu pada kebijakan dan proses di mana sekelompok kecil pihak swasta yang saling terkait diijinkan untuk mengontrol sebanyak mungkin kehidupan social dalam rangka memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. Paham ekonomi ini muncul pertama kali di Amerika Serikat,sejak jaman pemerintahan Ronald Reagen, sekitar lebih dari dua dekade lalu. Menurut Robert juga dan para pemikir anti neoliberalisme seperti Noam Chomsky, sekarang ini, doktrin ekonomi neoliberalisme telah menjadi kecenderungan ekonomi politik global yang diadobsi oleh berbagai partai politik di seantora bumi baik itu sayap kanan, sayap kiri maupun sayap patah. Ups yang terakhir itu gak ada (sayap patah, Red). Partai-partai politik ini dan kebijakan yang dikeluarkannya bertujuan untuk mengawal kepentingan sekelompok investor yang sangat kaya dan kurang dari seribu perusahaan super raksasa atau biasa kita sebut sebagai MNC (Multy National Corporate).

Tapi jika anda telusuri penggunaan istilah “neoliberalisme” di Negara asalnya, kalian tidak akan menemukannya. Istilah neoliberalisme memang di Amerika tidak digunakan oleh masyarakat luas namun hanya untuk kalangan akademisi saja. Di Amerika, kiprah neoliberal disamakan dengan pasar bebas yang mendorong tumbuhnya perusahaan swasta dan keragaman pilihan konsumen, menghargai tanggungjawab pribadi dan inisiatif perusahaan, meruntuhkan pemerintahan yang tidak kompeten, birokratis, dan parasit, yang tidak akan pernah melakukan sesuatu dengan baik sekalipun dalam system yang dirancang baik. Ups, namun tunggu dulu, kalian jangan mudah percaya dengan doktrin pasar bebas di Amerika ini. Karena percaya dengan “neoliberal dan pasar bebasnya” adalah musryik, karena rukun iman hanya ada enam bagi yang muslim. Jadi kalau kalian percaya dengan-nya” berarti kalian termasuk ……. (nah yang ini becanda, jangan dimasukkan dalam pikiran kalian).

Doktrin neoliberal tentang pasar bebas di Negara asalnya (Amerika Serikat) memang sengaja ditanamkan pada masyarakatnya dengan upaya kehumasan yang didanani oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil Oil, Freeport, Ford, Coca Cola, dll. Hal ini memberikan aura “suci” bagi istilah dan gagasan ini (neoliberal dan pasar beras, Red). Klaim yang diajukan oleh pendukung neoliberalisme hampir tidak perlu dibela dan bahkan menjadi pembenar” dalam segala hal. Mulai dari penurunan pajak untuk orang kaya, undang-undang lingkungan hidup yang dibuat secara serampangan, hingga penghapusan program subsidi pendidikan dan kesejahteraan social. Sudah barang tentu setiap bentuk kegiatan yang mungkin mengganggu dominasi perusahaan atas masyarakat, otomatis layak dicurigai karena akan mengganggu pasar bebas. Padahal pasar bebas diyakini sebagai satu-satunya system penyedia barang dan jasa yang rasional, adil, dan demokratis. Puncaknya,

Demokrasi neoliberal dengan gagasan pasar uber alles-nya menjadikan semua ini sebagai tujuan mutlaknya. Padahal seperti demokrasi, pasar hanyalah alat untuk mencapai masyarakat yang adil dan beradab, berkeadilan dalam semua bidang. Dengan demikian, neoliberalisme dan pasarnya alih-alih menciptakan masyarakat sipil, mereka hanya menciptakan konsumen. Dan alih-alih membangun komunitas, mereka membangun pusat perbelanjaan. Hasil akhirnya adalah masyarakat yang terpecah, terbentuk dari individu yang terpisah satu-sama lain, tidak memiliki acuan moral, dan tidak memiliki kekuatan social.

Kesimpulannya, neoliberalisme merupakan musuh utama setiap negara bangsa yang ingin benar-benar merdeka tanpa ada penindasan dan penghisapan negara satu terhadap negara lain.


Praktek Penjajahan Neoliberal di Indonesia

Dari dulu hingga sekarang bangsa dan Negara Indonesia tidak pernah dijajah oleh Negara manapun selain Jepang. Portugis, Belanda dan Inggris yang mengeruk SDA dan SDM kita adalah kongsi dagang bukan dating atas nama Negara bangsa. Belanda melalui VOC-nya.

Melalui utang luar negeri yang dibuat oleh rezim Soeharto tidak dinikmati oleh rakyat, sesungguhnya tidak ada sedikit pun alasan bagi setiap pemerintahan Indonesia Pasca Soeharto untuk mensosialisasikan dampak beban utang najis tersebut kepada rakyat banyak. Sebaliknya, adalah kewajiban setiap pemerintahan yang memihak kepada rakyat untuk meminta pertanggungjawaban para kreditur atas kesalahan mereka menyalurkan utang-utang itu. Caranya tentu bukan dengan meminta penjadualan ulang (debt reschedulling), melainkan dengan meminta pemotongan utang (debt reduction).

Saat ini, golongan borjuis melalui partai politik telah memenangkan pemilu, negara telah berperan sebagai penyelenggara atau pelayan kepentingan kaum kapitalis-borjuis. Dalam realitas, kedaulatan tidak lagi dipegang oleh rakyat, melainkan di tangan kaum borjuis. Inilah yang disebut demokrasi borjuis, dan bukannya “demokrasi kerakyatan”. Kaum borjuis nasional ini (Aburizal Bakri, Surya Paloh, ), seperti ditunjukkan oleh negara-negara Amerika Latin, berperan sebagai komprador dalam melayani kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional.


Dalam bukunya Agenda-Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, Amin Rais menyoroti pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang menurutnya cenderung mewarisi sindrom Amangkurat I & II dalam sejarah Mataram yang sangat lembek menghadapi VOC dan sangat kompromistis dalam melacurkan kekuasaan dan kewenangan kraton dengan pihak kompeni. Begitu halnya dengan Pemerintahan Yudhoyono, menurut Amin Rais, tidak menunjukkan keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ pada tekanan-tekanan korporasi asing, kompeni-kompeni zaman sekarang. Kompeni jaman sekarang adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Diantara perusahan multinasional yang kelakuannya kasar seperti VOC adalah perusahaan asing yang bergerak di sector pertambangan dan minyak bumi.

Persoalan divestasi saham usaha pertambangan asing menjadi persoalan hangat kembali setelah munculnya ‘perebutan’ pembelian saham antara pemerintah pusat (Menteri Keuangan) dengan pemerintah daerah Sumbawa Barat. Masih hangat di ingatan kita, ketika persoalan sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) mengenai kewajiban divestasi saham yang belum juga dilakukan oleh PT NNT hingga tahun 2008 padahal pada Kontrak Karya (Contract of Work Between The Government of The Republic of Indonesia and PT Newmont Nusa Tenggara tanggal 2 Desember 1986) diperjanjikan bahwa PT NNT harus mendivestasikan sahamnya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Persoalan sengketa tersebut, harus berakhir di arbitrase internasional yang dilaksanakan dibawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Akhirnya, pada 31 Maret 2009 Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) mengeluarkan putusan akhir (final award), yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia dan memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan pasal 24 ayat (3) Kontrak Karya (KK) yaitu melakukan divestasi 17% saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan tahun 2007 sebesar 7% kepada pemerintah daerah, sedang untuk tahun 2008 sebesar 7%, kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan sebagai sejumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia dalam Pasal 24 KK disepakati bahwa PT NNT berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada akhir tahun ke-5 sekurang-sekurangnya 15%, pada akhir tahun ke-6 sekurang-kurangnya 23%, pada akhir tahun ke-7 sekurang-kurangnya 30%, pada akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37%, pada akhir tahun ke-9 sekurang-kurangnya 44%, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya 51%. Semua kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat (4) KK akan dianggap dilaksanakan segera sesudah tidak kurang dari 51% yang diterbitkan dan yang ada pada waktu ditawarkan kepada dan dibeli oleh peserta Indonesia.


Persoalan divestasi dan ‘jalan panjang’ perjuangan Pemerintah Indonesia untuk ‘memaksa’ PT NNT melakukan kewajiban divestasi hingga harus berakhir di arbitrase Internasional ternyata bukanlah akhir dari sekelumit persoalan divestasi saham usaha pertambangan asing di Indonesia. Kepemilikan sisa penawaran saham terakhir untuk tahun 2010 sebesar 7% yang ditawarkan oleh PT NNT, diperebutkan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah kabupetan Sumbawa Barat. Perebutan kepemilikan saham tersebut tidak hanya sebatas perebutan yang dilakukan dengan cara kompromistis semata, namun telah mengarah pada tindakan keras pemerintah daerah dan DPRD kabupaten Sumbawa barat berupa ancaman penutupan lahan pernambangan PT NNT, aksi demontrasi rakyat Sumbawa Barat yang menolak penambangan dan meminta agar Pemerintah Pusat tidak membeli saham yang ditawarkan PT NNT, atau bahkan safari politik anggota DPRD ke berbagai kementerian di Jakarta untuk mendukung pembelian saham oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, Pemerintah Pusat melalui Menteri Keuangan berencana akan membeli saham divestasi tersebut dengan menggunakan kendaraan Pusat Investasi Pemerintah (PIP).

Perebutan antara kedua penyelenggara negara ini menjadi sebuah problem dalam pelaksanaan divestasi saham usaha pertambangan Indonesia, padahal di masa datang divestasi saham usaha pertambangan asing akan berlangsung dan tentunya antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat memiliki keinginan yang sama untuk dapat memiliki saham divestasi yang ditawarkan pemegang izin usaha pertambangan asing di Indonesia.


Habis Manis Sepah Dibuang (Benar-benar Kelakuan Penjajah)

Bambang Rustanto dalam blognya menulis bagaimana dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan, studi kasus terhadap pertambangan timah di desa Jebus, Kecamatan Jebus Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kerentanan sosial di Desa Jebu Laut termasuk dalam kerentanan Trends, yaitu perubahan yang dilihat dari periode waktu tertentu. Desa ini sekitar Sembilan tahun yang lalutermasuk dalam salah satu produsen timah terbesar di Kepulauan Bangka Belitung. Tetapi karena timah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, seiring derngan berjalannya waktu, biji timah di desa ini semakin berkurang. Masyarakat setempat tidak mampu lagi menopang kehidupan sehari-hari hanya dengan menambang timah. Sedangkan untuk beralih ke pertanian tidak memungkinkan lagi karena tanah yang dahulu subur untuk tanaman lada kini telah gersang.

Tentu kalian pernah mendengar kasus Buyat, di Minahasa. Ya, Sebuah bencana pencemaran yang menyebabkan gangguan kesehatan kronis dan kemiskinan akibat hilangnya mata pencaharian yang ditimpakan kepada mereka sebagai dampak operasi pertambangan raksasa PT Newmont Minahasa di wilayah hidup mereka Alih-alih menerapkan prinsip kehati-hatian, empati serta memihak pada korban, para pejabat negara dengan serta merta menyangkal penderitaan para korban dan menyatakan bahwa PT Newmont Minahasa tidak menimbulkan pencemaran. Dengan menyatakan bahwa Teluk Buyat tidak tercemar, dengan setumpuk hasil penelitian dan bukti laboratories berbagai pihak yang mengindikasikan terjadinya pencemaran, sesungguhnya para pejabat negara telah memvonis rakyat menyampaikan informasi yang tidak benar alias bohong.



List Kasus Tambang di Indonesia
No Nama Perusahaan Lokasi
1. Lapindo Brantas Inc Blok Brantas, Sidoarjo Jawa Timur
2. PT. Meares Soputan Mining Likupang, Minahasa Utara Sulawesi Utara
3. PT. Freeport McMoran Indonesia Grasberg & Eastberg, Pegunungan Jaya Wijaya Papua
4. CNOOC SES Ltd. dan BP Java West Ltd Perairan Pulau Seribu, DKI Jakarta
5. PT. Nusa Halmahera Minerals Ltd Pulau Halmahera, Maluku
6. PT. Newmont Nusa Tenggara Pulau Lombok dan Sumbawa
7. PT. Barisan Tropical Mining Muara Tiku, Musi Rawas, Sumatera Selatan
8. PT. Newmont Minahasa Raya Minahasa, Sulawesi Utara
9. PT. Kelian Equtorial Mining Sungai Kelian, Kalimantan Timur
10. PT. Indo Muro Kencana Barito, Kalimantan Tengah
11. PT. Inco Indonesia Sulawesi
12. PT. Teja Sekawan & PT. SAM Pegunungan Mollo Kec.Fatumnasi, NTT
13. PT. Kideco Jaya Agung Kab. Paser, Kalimantan Timur
14. ExxonMobile Aceh Nanggroe Aceh Darussalam
15. PetroChina East Java Tuban, Jawa Timur
16. PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan
17. PT. Adaro Indonesia Kalimantan Selatan
18. PT. Bahari Cakrawala Sebuku Pulau Sebuku, Kotabaru Kalimantan Selatan
19. PT. Kitadin Coorporation Kalimantan Timur
20. PT. Kaltim Prima Coal Kalimantan Timur
21. Total FinaElf Kalimantan Timur
22. Unocal Kalimantan Timur

Sumber : Jaringan Advokasi Tambang (Jatam.com)

Peringatan!!!, data dan fakta yang disajikan di sini baru di satu sektor yakni sektor pertambangan, sektor industri lain seperti industri manufaktur, kosmetik, makanan dan obat-obatan belum saya paparkan.


Lalu Mau Apalagi Kita (Bangsa Indonesia) ?

Hai kalian, generasi penerus bangsa,!!! Ingat-ingat selalu bahwa kemerdekaan Negara ini diperoleh dengan darah dan perjuangan pendahulu kita. Kemerdekaan kita tidak didapatkan secara cuma-cuma.
Kalian dapat lihat pada pembukaan UUD 1945 tujuan dari kemerdekaan kita ini.
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."


Merdeka 100% adalah jawabannya. Kita harus katakan tidak dan tolak terhadap penjajahan secara halus yang dilakukan perusahaan asing yang bercokol di negeri ini. Tolak semua investasi asing yang pembagian keuntungannya tidak adil seperti yang terjadi di Papua yang dilakukan oleh Freeport Inc.

Cukup Sudah!
Hentikan Investasi Baru Pertambangan Besar yangMenista Rakyat

Lagipula, siapakah yang bisa mengembalikan lagi kekayaan Indonesia yang diambil oleh mijnbedrijven partikelir, yakni perusahaan-perusahaan partikelir, sebagai timah, arang batu dan minyak. Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu?Musnah-musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka!
(Soekarno, Indonesia Menggugat 1961)


Momentum kebangkitan China sebagai Negara di Asia yang perekeonomiannya sekarang menempati posisi lima besar di dunia harus menjadi inspirasi bagi bangsa ini untuk bangkit. Kenapa tidak, Negara kita kaya raya akan hasil tambang dan buminya. Kata Koes Plus, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

Resep keberhasilan China dalam bidang ekonomi harus kita jadikan bahan untuk menyembuhkan perkembangan ekonomi kita. Kenapa itu tidak kita amati, tiru dan modifikasi di Indonesia?


* Materi ini sengaja disusun untuk disampaikan dalam diskusi internal di Lembaga Pers Mahasiswa Pena Kampus Universitas Muria Kudus.


Tulisan ini diolah dari berbagai sumber, diantaranya adalah :

Buku :

Chosky, Noam. Memeras Rakyat, Neoliberalisme dan Tatanan Global.

Soekarno. Indonesia Menggugat, 1961.

Artikel, Opini dan Essay :
Rais, Amien. Nasionalisasi Migas ala Bolivia. Makalah disampaikan pada Orasi Lingkungan “Selamatkan Indonesia”, pada 4 Juli 2008
Johansyah, Merah. Korupsi dan Kekerasan adalah Praktek Kotor Industri Pertambangan Batu Bara.
Sagaroa, Yani. Kritik Terhadap Pelaksanaan Millennium Development Goals (MDGs) 2015 di Indonesia.

Website :

Bambangrustanto.blogspot.com
http://www.ekonomirakyat.org
http://indonesiamelawan.wordpress.com/
http://farechase.yahoo.com/promo-generic-14795097
http/www.jatam.org
http/www.walhi.org

0 komentar:

Posting Komentar

Mau ?

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India