Minggu, 12 Juni 2011

Ngedan di Blog

Karena tidak mempunyai blog atau web pribadi, saya diejek oleh kawan saya. Pakde itu menjadi tabu diantara kami karena memang saya dan Pakde Dalbo sama-sama Dalbo begitulah saya memanggilnya sesuai dengan nama blognya yang sering dipromosikannya pada saya. Masak kamu yang pernah makan “bangku sekolahan” negeri di Malang tidak punya blog ? memalukan katanya sambil tersenyum mengejek. Saya mencoba membantah dengan mengatakan bahwa saya juga dulunya punya blog tapi tidak pernah saya rawat lagi sampai username dan password-nya saya lupa. Namun karena tidak dapat menunjukkan karena nama blog dan url-nya saya lupa atau mungkin jika ingat sudah ditutup oleh manajemen blog di mana saya bernaung.

Tidak punya blog akhirnya menjadi kartu As-nya Pakde Dalbo untuk mengejek saya habis-habisan. Saya yang diejek hanya bias cengar-cengir tanpa bisa membalas. Tidak mempunyai blog aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di “sekolahan” kami masing-masing.

Sontak ejekan Pakde Dalbo yang juga menjabat sebagai Pemred di LPM-nya itu membuat kawan-kawannya di LPM SM itu ikut-ikutan mengejek saya. Saya hanya bisa dongkol tak bisa melakukan serangan balasan. Karena tak kuasa menerima serangan ejekan Pakde Dalbo dan krew LPM-nya itu akhirnya saya juga terpaksa membuat blog, maka lahirlah blog edan ini. Langkah proteksi untuk melindungi diri saya dari cercaan krew LPM SM ini ternyata tidak bisa melindungi diri saya. Cercaan dari krew LPM SM malah semakin menggila. Saya tambah diolok-olok oleh mereka, masak aktivis pers Mahasiswa yang juga pernah menjabat sebagai Pemimpin Umum baru hari ini membuat blog. Tulisannya juga tidak pernah dimuat di media massa. Saya hanya bisa tersenyum kecut mendengar olok-olok dari Pakde Dalbo dan krewnya ini.
























Tapi jujur saya juga kagum dengan kontinuitas Pakde Dalbo dan sebagian krew LPM SM yang setiap hari menyempatkan diri menulis untuk blognya. Sampai-sampai waktu luang mereka diluar jam “sekolah” sebagian besar dihabiskan di depan laptop yang terkoneksi jaringan internet itu. Saking asyiknya mereka menulis untuk mengisi halaman blognya itu sampai lupa mandi, apalagi pacaran. Ups, keceplosan.

Padahal gejala dan fenomena yang terjadi di LPM di luar LPM SM ini malah sebaliknya, banyak krewnya kalau disuruh untuk menulis berita, artikel, opini atau bentuk tulisan yang lain untuk mengisi terbitan LPM baik itu majalah, bulletin, newsletter atau apapun bentuk medianya sangat sulit. Terkadang Pemred sebuah LPM harus naik pitam mengatasi tingkahlaku krew redaksinya. Deadline tulisan seringkali molor karena banyak krew redaksi yang mendapat tugas seabrek, jadwal kuliah dan praktikum yang padat (padahal ini hanya akal-akalan mereka saja).

Pemandangan yang saya lihat di LPM SM Unijoyo ini sangat berbeda dengan LPM yang lain. Apa yang dilakukan Pemred dan beberapa krewnya ini patut diacuingi empat jempol. Bagi mereka tidak ada hari tanpa menulis untuk mengisi blognya. Luar biasa…

Saya yang datang sebagai tamu LPM SM untuk beberapa hari tercengang dan banyak terinspirasi dari semangat menulis Pakde Dalbo dan beberapa krewnya. Sampai merelakan diri untuk dihina dan dinistakan karena tidak memiliki blog, hingga akhirnya membuat blog gila ini juga saya lakukan di LPM SM. Pikir saya jika spirit menulis Pakde Dalbo dan beberapa krewnya ini ditularkan pada anggota LPM yang lain di seluruh Indonesia tentu akan menjadi hal yang luar biasa.

Menjelang hari-hari terkahir di LPM SM saya diajak ngopi di warung kopi yang letaknya di samping dermaga Kamal, Bangkalan Madura. Kami menghabiskan malam di dermaga sambil memetik gitar dan bernyanyi riang. Malam menjelang esok kepulangan saya, tiba-tiba, makbedunduk ada inspeksi mendadak yang dilakukan Rektor Unijoyo dan jajarannya terhadap Semua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Termasuk juga LPM SM. Waktu itu kami (saya, Pakde Dalbo, Rona Van Boyd dan Devi) yang lagi gitar di depan UKM kaget bukan kepalang. Pakde Dalbo dan krewnya yang paling kaget ketika melihat Rektor dan jajarannya berjalan dari arah WC UKM menuju kantor redaksi SM. Sontak Pakde Dalbo dan krewnya lari tunggang langgang tergopoh-gopoh menuju kantor SM. Saya hanya bisa melongo ditinggal begitu saja. Dari luar mereka terlihat terlibat pembicaraan dengan Rektor Unijoyo dan jajarannya.

Karena merasa sendirian di luar, saya juga menyusul menuju kantor redaksi SM. Saya hanya bisa berdiri di luar kantor SM dan tidak memberanikan diri masuk ke dalam kantor SM, karena sang Rektor dan jajarannya sudah memenuhi pintu masuk LPM SM. Pembicaraan tampak serius memasuki perihal produk yang dihasilkan LPM SM. Rector bertanya apa saja produk jurnalistik yang telah dihasilkan oleh SM. Dengan tergopoh-gopoh, Devy mengambil bulletin terbitan kemarin dan menunjukkannya pada Rektor dan jajarannya. Sang Rektor mengernyitkan keningnya dan kembali bertanya, “masak hanya ini terbitan kalian ?” Pakde Dalbo yang merasa terpojok dengan pertanyaan sang Rektor menjawab sekenanya bahwa penerbitan majalah masih dalam proses. Saya tidak ingat betul apa yang dikatakan Rektor setelah mendengar jawaban Pakde Dalbo. Saya hanya bisa mendengar sedikir perkataan Rektor malam itu karena jajarannya membuat gaduh di sebelah saya. Rektor mencoba membandingkan kinerja LPM Voice of Law (LPM Fakultas Hukum Unijoyo) yang telah beberapa kali menerbitkan majalah disbanding dengan kinerja LPM SM yang hingga hari ini belum mampu menerbitkan majalah. Mendengar sekilas saya kemudian tertawa heran.

Dalam benak saya kemudian melintas banyak pertanyaan, pertanyaan utamanya adalah mengapa LPM SM yang beberapa krewnya adalah penulis yang setiap harinya memproduksi tulisan tak mampu menelurkan sebuah majalah? Meskipun hanya tulisan untuk blog personal mereka. Saya yakin kemampuan mereka dalam hal tulis-menulis sudah mumpuni untuk menerbitkan majalah.

Usut punya usut ternayata kendala yang dialami LPM SM terkait dengan penerbitan majalah adalah biaya cetak. Menurut PU dan Pemrednya, anggaran pertahun yang diberikan oleh Universitas pada SM sangat minim. Biaya pertahun yang diberikan tahun ini saja sudah habis untuk kegiatan diklat jurnalistik dan kegiatan yang lain. Akhirnya produk yang bisa dicetak hanya bulletin yang secara ekonomis terjangkau dengan dana yang ada. Menurut beberapa krew LPM SM, beberapa oknum Rektorat terutama Pembantu Rektor III sentiment terhadap mereka. Akhirnya dana yang diperoleh LPM SM dari Rektorat menjadi minim.

Saya sudah usulkan pada PU dan Pemred untuk langsung melakukan audiensi dengan Rektor selaku pucuk pimpinan universitas terkait perlakuan PR III pada LPM SM. Namun usulan saya mentah, pucuk pimpinan LPM SM sudah antipati dengan birokrasi kampus, untuk menatap muka mereka saja mereka sudah mual mau muntah apalagi untuk berbicara dari hati ke hati. Ya akhirnya saya yang dating sebagai tamu tak bisa berbuat banyak dengan keadaan yang dialami LPM SM. Sempat terbersit dalam pikiran kotor saya, apakah perilaku kebencian dan kemuakan yang membabi buta krew LPM SM ini terhadap birokrasi kampus diakibatkan oleh terlalu seringnya mereka bergaul dengan layar laptop dam computer yang berbentuk kotak itu? Sehingga pikiran dan perilaku mereka juga menjadi terkotak seperti itu? Sempit.

2 komentar:

Catatan Thutti mengatakan...

hohohoho,,, kowdonk,, di ejek seng mas Vatur,,,
sabar mas,,
semoga dengan sabar bisa mendatang kan rejeki..
hehheheheheh

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

aku mung bisa senyum2 baca tulisanmu tur. terus menulislah. ojo kapok dolan nang UNIJOYO yang kering. yang gak ada hiburannya.

Posting Komentar

Mau ?

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India