Perempuan itu berdiri di jendela ruang tamu, menatap keluar. Dia baru saja selesai menyiapkan opor ayam dan ketupat untuk hidangan lebaran besok. Rasa penasaran pada suara takbir yang terdengar keras bersahut-sahutan dari dalam rumahnya. Membuat dia ingin tahu dari mana sumber suara itu datang. Ternyata suara takbir berasahut-sahutan itu berasal dari takbir keliling yang dilakukan warga desanya. Beberapa tahun terakhir memang warga desanya tidak pernah melakukan takbir keliling.
Di barisan depan iring-iringan takbir keliling itu adalah sebuah mobil bak terbuka yang telah di muati pengeras suara dan beduk yang cukup besar. Di sisi mobil itu adalah bocah-bocah yang dengan riang memukul beduk. Bocah-bocah yang terlihat begitu ceria dengan gelak tawa dan bersemangat, membuat perempuan itu menaruh harap. Ada yang hadir di malam takbir, menyusup di kelam malam, mengetuk pintu rumahnya. Seseorang dari masa lalunya, yang membuatnya menyesal sepanjang hidupnya yang selalu ditemani kesepian.
Menyusul barisan ke dua adalah bocah-bocah yang membawa lampion aneka rupa. Dan yang paling belakang adalah remaja dan warga yang membawa alat musik dari bambu seperti kentongan dan angklung. Mereka memainkan alat musiknya bersama sambil mengumandangkan gema kemenangan.
Sambil menatap berlalunya iring-irngan takbiran, perempuan itu hanya tertawa kecil. Pemandangan itu sedikit mengisi relung hatinya yang selama ini hanya diisi dengan kesunyian. Namun itu hanya sejenak, karena di luar hujan menggerimis dan kembali mengiris hatinya. Setiap kali malam menyajikan gerimis di jendela, hatinya selalu berharap ada yang mengetuk pintunya. Dengan suara yang makin lama makin keras. Namun jika harapannya tak kunjung mewujud hingga gerimis reda maka mata perempuan itu juga ikut menggerimis. Menggenang dalam kelopak matanya yang mengeriput.
Dimalam menggerimis seperti ini dia akan kembali terkenang masa lalunya. Masa di mana dia tidak sendirian. Mengenang masa lalunya ibarat membongkar memori lemarinya yang terkunci rapi di sudut kamarnya.
##
Waktu itu malam menggerimis, adzan Isya’ baru saja berlalu bersama angin. Sambil berjongkok di mulut tungku batu, perempuan itu meniup api berharap masakannya dapat cepat masak. Anaknya belum pulang, dia juga tak berharap anaknya pulang ke rumah ketika dia belum terlelap. Dua hari lalu mereka terlibat pertengkaran hebat. Anaknya datang ke kios meminta uang dengan suara tinggi dan kasar. Dari matanya memancar keinginan untuk menebus kekalahan judi yang baru saja dialaminya.
“Tak ada uang lagi untuk berjudi, kau lihat kios kita sudah kosong. Uang ini untuk mengisi kios kita dengan buah segar yang baru”. Perempuan itu berusaha menjepit erat-erat dompet berisi uang hasil jualannya itu di ketiak. Akhirnya anak yang tak sabar hanya meminta uang dengan suara tinggi dan kasar itu mendorongnya hingga terjatuh di sudut kios. Anak dua puluah tahun itu mengambil uang dalam dompet ibunya menyisakan beberapa lembar kemudian berlalu tanpa rasa bersalah.
Betapa hancur hatinya melihat anak semata wayang tega berbuat kasar padanya. Emosi yang tak terbendung itu akhirnya membuncah dan mengalir bersama air matanya. Sebagai ibu dia sudah berusaha untuk selalu bersabar menghadapi anak semata wayangnya itu. Dua tahun ini anaknya tak lagi menemaninya berjualan di kios, dan jika ke kios hanya meminta uang. Semua permintaan itu tak sanggup ditolaknya, berapapun yang diminta asalkan masih bisa diambil dari keungutungan kiosnya. Akan diberikan.
Baru pada tahun kedua ini dia mengetahui bahwa semua uang yang diminta anaknya dibuat berjudi. Semenjak itu jika anaknya datang ke kios dan meminta uang, tak lagi diberikannya. Bagitu besar perubahan yang terjadi pada anak yang begitu disayanginya itu. Anak yang selalu patuh padanya kini berubah sudah. Bahkan berani bersuara tinggi ketika minta uang padanya. Dan puncakanya adalah dua hari kemarin. Perlakuan yang begitu kasar oleh anak itu diterimanya. Namun apa hendak dikata, semua nasehat hanya dianggap angin lalu. Perempuan itu hanya menaruh harap pada doa yang dipanjatkan usai menunaikan sholatnya. Semoga anaknya itu dapat berubah lebih baik. Kembali menjadi anaknya yang dulu.
##
Samar-samar terdengar ketukan di pintu depan yang semakin lama semakin keras terdengar. Perempuan itu sudah dapat menebak siapa yang datang di tengah malam menggerimis itu. Tak mungkin ada tamu yang bertingkah begitu kurang ajar, mengetuk pintu rumahnya begitu keras. Tak mungkin tidak itu adalah anaknya. Dia tak segera membukakan pintu, karena benaknya telah disergap berbagai pertanyaan. Anak itu sudah dua hari ini tidak pulang, pasti waktunya tersita di meja judi. Tak ada yang membawanya pulang selain kekalahan yang membuat uangnya habis.
Setelah peristiwa di kios buahnya tempo hari, perempuan itu telah menyelamatkan perhiasan dalam kotak kayu yang dikubur di bawah ranjang. Hanya itu kini, modal yang dipunyainya untuk mengisi kios buah yang kini kosong melompong itu. Dalam kotak itu juga tersimpan perhiasan kesayangannya. Perhiasan itu adalah pemberian mendiang suaminya ketika pernikahannya dulu.
Tiba-tiba ketukan dipintu beganti dengan suara dentuman keras. Membuat pintu itu kini tak lagi terpasang di engselnya. Mak, di mana kamu?, teriak sang anak memecah keheningan rumah malam itu. Perempuan itu masih di dapur, membelah kayu bakar. Sama sekali tidak mempedulikan penggilan kasar anaknya. “Apa lagi yang kau mau?, minta uang lagi?” hardik perempuan itu pada anaknya yang menghampiri.
Dengan nada menghiba anak itu berkata “tolonglah aku, aku berhutang pada Kobra, kulihat mak masih punya perhiasan”. Emosi perempuan itu tak terbendung lagi, kali ini tidak lagi dengan tangis namun semua amarahnya keluar melalui suaranya. Semua umpatan dan caci maki kini melesat dari mulutnya. “Jangan pernah kau sentuh perhiasan itu, apalagi kau jual pada orang lain”.
Anak itu kesal, dalam benaknya ingin cepat menyelesaikan urusan utang-piutangnya. Dia telah mengetahui tempat ibunya menyimpan perhiasan, tinggal mengambilnya saja, dan masalahnya akan selesai. Dan benar saja, dia meninggalkan perempuan itu di dapur menuju kamar ibunya itu. Membuka paksa lemari dan membongkar seluruh isinya namun tak menemukan perhiasan di sana. Perempuan itu menyusul ke kamarnya mendapati semua isi lemari telah berserakan dan anaknya itu kini menggeledah ranjangnya. Mengangkat kasur, melihat apakah ada perhiasan yang disimpan di bawahnya namun tak ditemukannya.
Jalan pencariannya menjadi terang ketika kakinya menginjak gundukan tanah yang dicuraigainya tempat mengubur perhiasan ibunya. Dia berjongkok, namun tiba-tiba tubuhnya oleng, ada yang mendorongnya dari belakang. Perempuan itu mendorongnya, dia terjatuh namun segerabangkit dan balas mendorong ibunya.
Beruntung dinding kamar itu masih menyangga tubuhnya hingga tak sampai jatuh. Perempuan itu kembali ke dapur, mengambil sebilah golok yang digunakannya membelah kayu tadi. Anak itu telah menyelesaikan galiannya dan menemukan sekotak berisi perhiasan ibunya. Senyum mengembang di mulutnya. Dia menoleh ketika mendengar ada suara memanggil namanya. Dia terkaget,namun tak sempat mengelak. Ayunan golok itu telah mengiris lehernya, keciprak darah mengenai tembok dan sebagian ranjang. Kotak perhiasan yang dipegangnya terlepas dan berserakan dilantai kamar.
Melihat hasil perbuatannya itu perempuan itu menjadi panik, bingung apa yang harus diperbuat. Dia berlari ke dapur dan menangis sesenggukan. Cukup lama. Dengan membawa kain untuk menghambat pendarahan dia kembali ke kamar. Namun tak menemukan sosok putranya. Di luar hujan masih menggerimis, dia kembali menangis sesenggukan. Menuju ke ruang tamu namun hanya pintu yang telah lepas dari engsel yang dilihatnya. Anaknya telah lenyap, berlari ke dalam malam yang menggerimis.
Kembali ke kamarnya, melihat darah yang berceceran di ranjang membuat dirinya semakin tenggelam dalam tangisnya. Esok sorenya adiknya, Sadimin mengunjunginya. Memberitahukan putranya selamat dan sekarang dirawat di rumah sakit yang berjarak sebelas kilometer dari rumahnya.
“Semalam anakmu itu ke rumah dengan tubuh bercucuran darah. Bergegas aku membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Beruntung dia masih bisa selamat, namun belum sadarkan diri. Sebenarnya ada apa?”
“Kenapa kau selamatkan anak kurang ajar itu?”. Perempuan itu balik bertanya dengan ketus.
Sadimin paham kakaknya masih labil.. Nanti kalau emosi kakaknya sudah stabil dia akan ke sini lagi pikirnya. Maka cepat-cepat dia pamit untuk pulang
Setelah malam menggerimis itu berlalu hingga berminggu-minggu perempuan itu hanya mengurung diri di rumah. Dirinya tak tahu anaknya sudah tak lagi dirawat di rumah sakit. Setelah keluar dari rumah sakit secara paksa, anak itu memutuskan meninggalkan kampungnya. Merantau entah ke mana, dan menjadi yatim piatu sejak peristiwa itu.
##
Ketika merasa dirinya telah penuh, perempuan itu memutuskan akan meminta maaf dan mengajak pulang anaknya. Namun semua itu sia-sia, putranya tak ada lagi di rumah sakit, dia telah pergi meninggalkannya. Berbagai upaya telah dilakukannya, termasuk mengunjungi salah satu alamat yang kata adiknya Sadimin diberikan sesaat sebelum anaknya itu pergi. Di alamat itupun yang dicari tak ditemukan. Merasa semua usahanya sia-sia dia hanya menunggu dengan penyesalan dan kesedihan mendalam.
Tak ada kesedihan yang begitu dalam dan tak ada kesedihan yang begitu abadi bagi seorang perempuan selain kehilangan seorang anak. Telah dilihatnya sendiri ada perempuan yang jadi gila karena kehilangan anaknya. Pernah terlintas dalam benaknya untuk mengakhiri hidupnya yang selalu sepi. Namun ada setitik harap yang kembali menumbuhkan semangatnya untuk hidup. Kelak disuatu malam menggerimis ada yang mengetuk pintu depan rumahnya. Dengan suara yang makin lama makin keras. Ketukan yang begitu dihafalnya karena tak ada yang melakukannya selain anak semata wayangnya. Yang kini entah di mana berada.
Jepara, September 2010
Cerpen ini pernah dimuat dalam Majalah Mahasiswa DIANNS FIA UB
0 komentar:
Posting Komentar